Archive for the ‘Tentangku’ Category

In Memorium Abah Kami…..

Posted: Desember 15, 2009 in Tentangku

Muhammad Karsayuda, begitulah nama yang diberikan pasangan suami-istri Buseri dan Hj.Sundiyah kepada anak keempat mereka yang berkelamin laki-laki itu. Nama itu konon diberikan kepadanya untuk mengenang keturunan mereka terdahulu bernama Yudhakarsa, tokoh di daerah mahang (kini masuk wilayah Kabupaten Hulu Sungai Tengah) yang dikenal kharismatik, tangguh dan getol melawan penjajah di masanya.

Diniatkan atau tidak, Karsayuda yang lahir di kampung Mahang, 05 Agustus 1954 dikenal sebagai sosok pejuang, setidaknya di mata anak, istri dan rekan sepergaulannya. Karsayuda yang anak petani dengan kadar ekonomi pas-pasan itu berjuang meraih pendidikan dari sekolah dasar, madrasah muallimin, pesantrean Ibnu Amin Pamangkih hingga ke perguruan tinggi di IAIN Antasari pada tahun 70-an, sampai meraih gelar sarjana. Sesuatu yang sangat langka diantara kerabat, bahkan rekan-rekan sekampungnya masa itu.

Perjuangan Karsayuda tak berhenti disitu. Sejak diterima sebagai Pegawai Negeri Sipil di Kantor Kerapatan Qadhi (Sekarang disebut Pengadilan Agama) Barabai tahun 1979. Ia tak pernah berhenti berjuang di dalam dan di luar medan pekerjaannya.  Selain sebagai pegawai di lingkungan Peradilan Agama dengan berbagai jabatan yang ia emban, seperti Hakim Pengadilan Agama Barabai, Wakil Ketua Pengadilan Agama Barabai, Ketua Pengadilan Agama Pontianak hingga menjadi Hakim Tinggi di Pengadilan Tinggi Agama Kalbar, Kalsel dan Kaltim. Karsayuda terus berjuang layaknya pendahulunya Yudhakarsa di berbagai bidang.

Ia aktif di lapangan pendidikan, sosial, budaya, keagamaan bahkan politik. Karsayuda pernah menjadi Direktur Akademi Manajemen Koperasi Barabai, Ketua Ikatan Hakim Indonesia di Kalbar, Ketua dan Sekretaris MUI di Kalbar dan Kalsel, Ketua KNPI, Sekretaris Umum DPD II Golkar HST bahkan pernah menjadi anggota DPRD HST dan Calon Bupati di daerah tersebut.

Hingga suatu hari pada 24 oktober 2007, tepat 2 hari sebelum ia menikahkan putra sulungnya Rifqi, Ia terkena prostat ganas. Penyakit itu belakangan dideteksi bukan penyakit biasa, melainkan kanker prostat stadium IV. Sejak saat itu, kondisi kesehatannya terus memburuk. Tak kurang dari 12 kali rawat inap di berbagai rumah sakit dan 4 kali operasi ia jalani dengan penanganan tenaga ahli, namun perjuangan dari suami Hj.Rusdiniyah Syamsuddin itu harus berakhir pada hari Jumat 02 Oktober 2009 M/14 Syawwal 1430 H, pukul 20.07 WITA di Paviliun Aster RSUD Ulin Banjarmasin.

Ayah dari M.Rifqinizamy Karsayuda dan Widya Ais Sahla Karsa, Kakek dari Muhammad Alfath Alfaroby, serta mertua dari Gusti Anisa Wulandari itu pergi dengan senyum mengembang di wajahnya. Ia dikenang oleh banyak orang, bukan hanya oleh istri, anak, menantu dan cucu, serta kerabatnya. Banyak ucapan bela sungkawa mengalir ke keluarga almarhum, termasuk dari berbagai tokoh dan koleganya.

Muhammad Karsayuda hanya diberikan kesempatan 55 tahun menyatu dengan dunia, tempat ia hidup, mengabdi dan berjuang untuk sesuatu kebaikan yang selalu ia yakini dan ia ajarkan pada kedua anaknya. Namun jejak dan nilai-nilai perjuangannya akan tetap hidup tanpa batas, sepanjang anak, cucu, keturunan dan orang-orang yang meyakininya meneruskan keinginannya untuk menghadirkan kehidupan yang bermanfaat bagi sebanyak mungkin manusia.

Anakku…….

Posted: Agustus 14, 2008 in Tentangku
anakku

anakku

Tak terkira betapa kepalang bahagianya seorang ayah yang baru memiliki putra pertama. Itulah yang kurasakan pada 26 Juli 2008 lalu. Kebahagiaan itu seakan semakin bertambah, karena anak kami lahir pada pukul 13.40 Wib, padahal sedianya pukul 21.00 malam harinya aku harus bertolak ke Kuala Lumpur untuk memenuhi tanggung jawab akademikku, menyelesaikan studi Master di UKM.

Sampai dengan pagi hari sekitar pukul 10.00 pada 26 Juli 2008 itu, tak ada firasat kalau istriku akan melahirkan anak kami beberapa jam kemudian. Prediksi dokter memang sangat variatif tentang tanggal kelahiran anak kami. Dokter spesialis di Malaysia, tempat istriku rutin melakukan check mengatakan anak kami akan lahir sekitar tanggal 27 Juli sampai dengan 9 Agustus 2008. Begitu liburan ke Banjarmasin, dokter disana mengatakan persalinan anak kami akan terjadi pada 24 Juli 2008. Lain lagi dokter di Pontianak yang mengatakan persalinan itu akan terjadi pada tanggal 27 Juli 2008.

Berbagai analisa dokter yang sifatnya spekulatif itu, mendapat jawabnya pada tanggal 26 Juli 2008 itu. Tanggal yang seakan sangat kompromistis, sekaligus menjawab rentetan doaku dan istri, agar sebelum aku meninggalkan Indonesia, aku sempat melihat kelahiran putra kami yang pertama. Kebahagiaan-pun semakin bertambah, karena pada pukul 12.00 siang hari pada 26 Juli 2008 itu, Abahku datang dari Banjarmasin ke Pontianak. Niat beliau adalah ingin menghadiri kelahiran cucu pertamanya, dan jika memang aku tidak ada pada proses kelahiran itu, maka beliau akan mengadzankan, mengiqomahkan, serta membacakan beberapa doa dari Al-ur’an yang keluarga kami percayai baik dibacakan di awal-awal kelahiran seseorang ke dunia. Doa-doa itu biasanya dibacakan oleh ayah sang anak.

Detik-detik menjelang kelahiran itu, tidak seperti cerita banyak pihak, termasuk para bidan yang mengatakan proses kelahiran pertama berjalan cukup lama, sekitar 10 jam yang dimulai dari pembukaan 1 sampai 10. Proses kelahiran anak kami ini berjalan cukup singkat, dimulai dari sakitnya perut istriku pada pukul 10.00 pagi. Sakit di masa-masa awal itu dirasakan dengan biasa-bisa saja oleh istriku, bahkan pada pukul 11.00, kawan dekatnya yang datang ke rumah disambutnya dengan hangat dan riang, ciri khas istriku. Tidak ada tanda-tanda ia sedang merasakan sakit yang kepalang. Baru pada sekitar pukul 12.00 dia berkeringat dan tangannya gemetar kesakitan di dalam kamar. Akupun dimintanya memijat-mijat punggungnya. Dia pun ku minta untuk makan siang, namun ia menolak. Lalu kusodorkan mukenanya, kuminta ia sholat walau dalam keadaan yang payah ditempat tidur. Kataku,” walau hanya dengan kedipan mata, sholatlah dulu sayang, sembari memohon doa, agar semuanya lancar”.

Istrikupun melakukan ibadahnya, dimulai dengan tayamum, sebab ia merasa sulit untuk berjalan ke tempat wudhu. Setelah semua itu berjalan, keringatnya semakin menjadi. Akupun memutuskan untuk membawanya ke rumah bersalin yang berjarak tak seberapa jauh dari rumah mertuaku. Dengan keterbatasan alat transportasi di tempat mertuaku, ku putuskan untuk membawa istriku dengan sarana apa yang ada, yang penting cepat. Begitu aku keluar rumah, ada becak kosong yang sedang lewat. Kupanggillah mamang becak itu, sembari kuminta menunggu sebentar untuk mengantar istriku ke rumah bersalin.

Istrikupun menaiki becak bersama Kak Melani, Kakak Iparku dengan membawa pelbagai peralatan yang telah jauh-jauh hari disiapkannya. Akupun mengambil motor Vespa mertuaku menuju rumah bersalin itu bersama ibu mertuaku. Sesampainya ku diasana, istriku sudah dimasukkan ke dalam ruang persalinan. Lima menit berselang, seorang perawat yang mengenal ibu mertuaku, mengatakan semuanya baik-baik saja. Ia berjanji sekitar beberapa menit lagi akan memberitahukan sejauh mana perkembangan istriku, aku sempat menanyakan “sudah pembukaan berapa, Bu?”. Ia menjawab sebentar mas, saya lihat dulu.

Lama berselang, sekitar 10 menit berikutnya, perawat tadi keluar lagi. Ia menabur senyum dan mengatakan selamat atas kelahiran anak kami, seorang laki-laki dengan berat 2.67 kg dan panjang 49 cm dengan proses normal. Saat itu rasanya aku setengah tak percaya, karena telah menjadi ayah. Rasa setegah tak percaya itu, sebab proses persalinan itu sangat cepat menurutku. Rasa bahagia itu seakan meluap-luap, sebab di detik-detik sebelum keberangkatanku, putra kami lahir. Akupun seakan tak sabar melihat wajah putraku itu, begitu juga dengan keadaan istriku.

Sembari menunggu putraku dibersihkan, akupun mengambil air wudhu sebelum membacakan adzan dan iqomah di telinga kanan dan kirinya. Tak lama berselang, bapak mertuaku yang juga sudah berada di rumah bersalin itu menggendong anak kami keluar ruang persalinan. Beliau-pun memberikan anak kami dari gendongannya kepadaku. Sanubariku terus berdebar, disertai sedikit linangan air mata bahagia, ku letakkan anak kami itu di dalam gendonganku. Ku bacakan adzan dan iqomah di telinganya, kucium mesra kening dan kedua pipinya. Lalu kuserahkan anak itu kepada kakeknya (abahku) untuk membacakan beberapa ayat Al-Qur’an. Kuminta hal itu kepada beliau sebagai wujud penghormatanku kepada beliau.

obie beberapa saat setelah kelahirannya

obie beberapa saat setelah kelahirannya

Setelah proses itu, akupun merubah niat untuk pulang pada malam harinya. Aku segera mencari tiket pesawat keesokan harinya, dan segera kubatalkan tiket malam hari itu. Aku ingin menemami istriku di rumah bersalin malam harinya. Aku juga ingin melakukan tasmiyah (pemberian nama) kepada anak kami malam harinya. Dan kuberharap aku dapat bersama istri dan anakku pada pagi hari sebelum ku berangkat menuju airport. Alhamdulillah semua telah kulakukan sesuai rencana, memberi nama anak pada malam harinya sesuai dengan budaya Banjar kulakukan berdua saja dengan abahku. Kalimat Ya…Ghulam….samaituka…….dan seterusnya sampai dengan menyebut nama anak kami MUHAMMAD ALFATH ALFAROBY BIN MUHAMMAD RIFQINIZAMY mendebarkan nuraniku. Proses itu berjalan di ruang bayi, dengan izin khusus dari para perawat, sebab seharusnya kami baru boleh menjenguk anak kami keesokan harinya pada pukul 09.00.

Setelah itu, kutemani istriku tidur di rumah sakit. Kami sengaja memilih Kelas II dimana ada 3 kasur disana yang kami tahu tidak ada pasien lain yang sedang di rawat inap pasca melahirkan. Kedua kasur yang kosong itu dengan lapang kugunakan. Sampai larut malam kami berbincang-bincang banyak hal, utamanya tentang kelahiran anak kami. Kebahagiaan itu memang tidak dapat terlalu lama kurasakan sebab keesokan harinya kuharus meninggalkan mereka. Sebelum berangkat, kami sempat memanjakan permata hati kami. Satu hal yang membuatku amat bersyukur, pada detik-detik akhir menuju keberangkatanku, istriku terlihat sangat tegar. Padahal ia harus kutinggalkan dengan beban mengasuh anak kami sendirian.

Sampai saat ini sudah hampir 3 minggu perpisahan itu kulalui. Hanya deringan telpon yang meringankan rindu ini kepada kedua orang yang sangat kucintai. Kuakui agak berat bagiku untuk menjalani proses ini, tapi semua ini kuobati dengan memaksimalkan upaya penyelesaian tesis dan 1 mata kuliah sisa yang InsyaAllah kuselesaikan di semester ini.

obie dan mamanya

obie dan mamanya

Semoga Muhammad Alfath Alfaroby menjadi anak pembuka (alfath) di keluarga kami dengan akhlak, kepribadian, kepemimpinan dan semangat dakwah seperti Rasulullah Muhammad SAW dan diberikan kemampuan untuk menjadi pecinta ilmu layaknya Alfaroby, sang filsuf muslim di masa keemasan Islam yang kukagumi itu….Amiin.

Haji Umar dan Inspirasi Kita

Posted: Januari 29, 2008 in Tentangku

Siang itu, setelah menempuh perjalanan sekitar 30 menit dari Kuala Lumpur International Airport (KLIA) menuju Shah Alam, tempat kediaman kolega yang menjemput saya dan isteri dari Bandara, kami pun menyempatkan diri untuk menyantap makanan Melayu yang amat kental bumbu-bumbunya di sebuah kedai makan di dekat Blue Mosque yang terlihat amat mewah di pusat kota pemerintahan Negara Bagian Selangor, Malaysia.

Sambil menyantap makanan, kamipun sembari berbincang-bincang. dengan kolega saya yang bernama Firdaus, alumni Al-Azhar University Mesir yang sedang mengambil program Masters di University Malaya dan seorang lagi bernama Haji Umar yang menjadi sopir pada saat itu.

Dalam perbincangan itu ada satu hal yang membuat saya tersentak kagum. Ternyata Haji Umar adalah seorang Pensiunan Profesor Pada Universiti Tekhnologi Mara (UiTM) yang pernah mengenyam pendidikan Doktor pada Indiana University di Amerika Serikat. Haji Umar adalah orang Melayu yang kakeknya berasal dari Banjar, Kalimantan Selatan. Setelah pensiun, Haji Umar banyak menghabiskan waktunya di Surau dekat rumahnya di Shah Alam. Di Surau inilah Haji Umar menjalin hubungan baik dengan kolega saya yang asli orang Makassar dan memiliki isteri orang Barabai, sekampung dengan saya.

Dalam perbincangan di Kedai itu ada beberapa hal yang membuat saya kagum atas Haji Umar, Pertama : Sebagai seorang pensiunan professor di salah satu Universitas besar di Malaysia, Haji Umar berpenampilan sederhana, santun dan ramah. Jauh dari tampilan professor dan/atau doktor di banyak sudut di negeri kita. Haji Umar nampaknya sadar betul bahwa hakikat pendidikan adalah mengasah akal dan budi. Semakin tinggi tingkat pendidikan seseorang, maka semakin tinggi pula pola pikirnya yang harus berbuah pada berbagai kebajikan. Pendidikan menistakan lahirnya ilmuwan-ilmuwan yang cerdas pikirannya, namun picik moralnya. Pendidikan tentu tak pernah mencanangkan hadirnya makhluk dengan tampilan material berlebihan dan menjadikan pendidikan tinggi yang ada pada dirinya sebagai racun bagi lingkungan sekitar. Jika Haji Umar berada di Indonesia, pastilah ia menjadi makhluk langka, sebab di negeri ini semakin menjamur para ilmuwan yang menjadikan ilmunya sebagai “senjata” untuk meraih keuntungan pribadi, maupun golongannya. Analog seorang professor dengan tampilan amat serius dan killer dalam banyak film dan sinetron, nyatanya banyak didapati dalam dunia Perguruan Tinggi di negeri kita, celakanya kadang “keseriusan” dan “ke-killer-an” itu sengaja dibuat untuk meraih keuntungan dengan cara instan.

Kedua : Setelah seorang pelayan kedai makanan menghampiri kami guna menanyakan menu yang akan di pesan, Haji Umar berbisik kepada saya dan mengatakan bahwa hampir seluruh karyawan rendahan di Malaysia, seperti pembantu, pramuniaga, tukang dan lain-lain adalah pekerja dari Indonesia. Kondisi demikianlah yang turut memperburuk citra bangsa kita di negeri Jiran ini. Hal ini sangat kontradiktif dengan keadaan beberapa tahun lalu ketika Haji Umar masih kanak-kanak dan remaja. Haji Umar adalah lulusan dari Universiti Malaya pada tahun 1974. Sebagai generasi awal yang menempuh pendidikan tinggi di Malaysia, beliau sangat respek terhadap Indonesia. Haji Umar ingat betul bahwa di awal-awal kemerdekaan Malaysia, guru-guru diimpor dari Indonesia, terutama guru Matematika, Fiska dan Kimia. Guru-guru inilah yang membawa perubahan fundamental bagi kemajuan Malaysia hari ini. Para guru ini memiliki keturunan yang kemudian hari masuk dalam elit Pemerintahan Malaysia, Sebagai contoh, baru-baru ini Gubernur Negara Federal Selangor terpilih adalah keturunan Jawa bernama Khair bin Toyo, Sultan Selangor konon adalah keturunan Bugis, Makassar, begitupula dengan Wakil Perdana Menteri Malaysia Dato’ Nadjib, termasuk Haji Umar yang keturunan Banjar. Keadaan demikian hendaknya menjadi modal bagi perbaikan citra dan hubungan Indonesia-Malaysia yang beberapa tahun terakhir memperlihatkan kondisi yang kurang positif. Gambaran diatas juga seakan mengesankan bahwa selama berpuluh tahun orang-orang keturunan Indonesia mampu hidup layak dan bermartabat. Keadaan yang belum tentu didapat jika terus berdomisili di Negara kita.

Ketiga  : Dalam perbincangan pada saat makan siang itu ada satu pertanyaan Haji Umar yang membuat saya terasa malu. Beliau menanyakan .” Dari mane sokongan biaye studi Rifqi? “ kata Haji Umar ringan. Pertanyaan Haji Umar sesungguhnya sangat lumrah, bahkan juga ditanyakan oleh hampir seluruh rekan yang mengetahui saya ingin melanjutkan studi ke Malaysia, sebab biaya studi di Malaysia tidaklah kecil, terlebih ditambah biaya penginapan dan biaya hidup yang jika dihitung-hitung lebih tinggi dibanding Jakarta sekalipun. Pertanyaan Haji Umar tersebut saya jawab dengan jujur bahwa seluruh biaya studi saya tanggung sendiri. Haji Umar-pun setengah terkejut, sebab ia tahu bahwa saya hanyalah seorang dosen muda di sebuah Universitas Negeri dan ia tahu persis gaji seorang dosen di Indonesia tak sampai seperempat gaji dosen di Malaysia. Seakan ingin memperbandingkan, Haji Umar-pun bercerita tentang komitmen pemerintah Malaysia terhadap masalah pendidikan, ia pun mencontohkan bahwa pada tahun 1984 ia melanjutkan studi di Amerika Serikat dengan mendapatkan sokongan dana dari Pemerintah sebesar US$ 100.000 sehingga ia pun dapat memperoleh gelar P.hD. Bahkan anak Haji Umar yang baru dua tahun berkuliah di Sidney University di Australia mendapat sokongan dana sebesar US$ 400.000 untuk memperoleh gelar Sarjana Tekhnik di bidang elektronika.

Pertanyaan Haji Umar membuat saya malu, sebab saya tahu betul negeri saya tidaklah terlalu miskin untuk sekedar menyekolahkan orang-orang seperti saya yang pasti akan kembali untuk mengajar di universitas tempat saya bekerja. Rasa malu itu semakin menguat, jika saya sadar bahwa saya berasal dari Kalimantan Selatan, sebuah propinsi yang amat kaya dengan sumber daya alamnya. Terlebih jika dibandingkan beberapa Negara Asia Tenggara, baru Indonesia yang berani mematok prosentase dana pendidikan di Konstitusi, kendati tak pernah ditaati. Tapi itulah keadaannya. Saya pun menjawab paparan Haji Umar dengan senyum sembari bergumam dalam lubuk hati, “Semoga generasi setelah saya merasakan manisnya kisah dan pengalaman seperti yang Haji Umar, anaknya dan banyak lagi warganegara Malaysia lainnya dalam menempuh studi. Jika pun hal itu tak pernah terjadi, mudah-mudahan masih ada orang yang mau berjuang menuntut ilmu dengan menghabiskan hampir seluruh tabungan, bahkan berhutang demi satu cita-cita membangun Peradaban Banua dan Negara yang lebih baik”…Salam dari Malaysia.

S2 Yang Tertunda

Posted: Januari 29, 2008 in Tentangku

Setelah lulus dari FH UII pada Maret 2005, akupun langsung mendaftarkan diri di Magister Hukum UGM. Aku mendaftar dengan uang tabunganku sebesar Rp.250.000, sebuah jumlah yang tidak kecil menurut ukuranku kala itu. Aku berani mendaftar, sebab sejak satu tahun sebelum kelulusanku, Orang tuaku, utamanya abahku memberikan harapan akan membiayai studiku hingga ke S2. Apalagi prestasi akademikku sangat bagus dan kucapai dalam waktu singkat, tak ada alasan untuk tidak S2 pikirku.

Namun, ada hal yang tak kuketahui, ternyata orang tuaku tak memiliki uang yang cukup untuk studiku. Hal ini dikarenakan abahku sedang mengikuti proses Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) di Kabupaten Hulu Sungai Tengah. Pilkada itu dibiayai oleh keuangan orang tuaku sendiri, sebab abahku dan partai yang mencalonkannya (PKS) tak mau menerima donasi dari pihak tertentu yang hampir seluruhnya mengikat. Dalam benak abahku, bentuk donasi demikian, jika ia terpilih akan membuat kepemimpinannya tak independent. Bagaimanpun prinsipnya harus aku hormati dan aku harus bersikap dewasa untuk mendukungnya, kendati S2 ku tertunda sampai dengan waktu yang tak pasti, terlebih dalam pemilihan itu abahku kalah.

Untungnya, aku mendapat tawaran kerja di Bank BPD Kalsel. Info tawaran tersebut kudapat dari uwaku yang menjadi dewan pengawas syariah disana. Awalnya aku melamar sebagai tenaga lepas yang mengurusi Qard Al-Hasan (pinjaman tanpa bunga yang diberikan kepada muzakky dari uang zakat karyawan BPD kalsel), namun setelah dua bulan menunggu, ternyata ku dipanggil untuk menjadi karyawan tetap. Konon, keputusan tersebut dibuat oleh pihak manajemen, karena melihat nilai kelulusan dan biodataku. Akupun menjalani tes dan langsung diterima bersama dua orang lainnya yang berasal dari Bank Syariah Mandiri. Padahal dari tujuh yang mengikuti tes, lima diantarnya telah bekerja dan memiliki pengalaman di perbankan. Aku diterima konon karena IPK-ku pada saat kuliah diatas rata-rata, selain hasil tes Bahasa Inggrisku yang juga lumayan.

Tanggal 1 Agustus 2005 aku mulai bekerja di Bank BPD kalsel dan ditempatkan di Unit Usaha Syariah. Tugas utamaku sesungguhnya adalah sebagai seorang peneliti dan konseptor untuk mengembangkan unit syariah Bank tersebut yang baru 1 tahun didirikan, Namun karena atasanku seorang yang tak dapat bekerja secara team work, maka aku banyak mengerjakan hal-hal yang bersifat administratif belaka. Atasanku tersebut bernama Afghani Yusuf Said, seorang banker senior, cerdas, namun improfet dengan ide dan gagasan diluar dirinya. Apa yang ia pikirkan dianggapnya yang terbaik. Jika dilakukan survey, hampir seluruh karyawan di kantor tersebut tak menyukai karakter beliau.

Suasana kerja dengan atasan yang tak terbuka demikian dan bekerja dengan waktu yang terikat dari pukul 07.45-17.00 WITA bahkan sering kali pulang diatas jam 19.00. Diakhir bulan seluruh karyawan biasa pulang sampai jam 12.00 malam. Hal tersebut membuatku mulai merasa bosan bekerja di kantor tersebut, satu-satunya yang membuatku senang bekerja disana adalah pada saat mendapatkan bonus kerja. Sesekali ku mendapatkan Rp.5 juta, beberapa bulan kemudian mendapatkan Rp.2-3juta, sebuah jumlah yang sangat besar bagiku kala itu, disamping gajiku sebesar Rp.1,4 juta/bulan.

Suasana kerja demikian membuatku selalu mencari celah untuk keluar dari Bank tersebut. Akupun mulai mengakses beberapa foundation yang memberikan beasiswa untuk S2 ke luar negeri, selain mencari info pekerjaan lain. Pencarian itupun membuahkan banyak informasi, termasuk informasi penerimaan CPNS untuk menjadi Dosen di Fakultas Hukum Universitas Lambung Mangkurat. Dengan semangat, akupun turut mendaftar tes tersebut pada bulan Februari 2006. Terdapat 55 orang sarjana hukum yang mengikuti tes tersebut untuk memperebutkan 6 posisi dosen. Pada bulan Maret hasil tersebut diumumkan dan akupun dinyatakan lulus. Aku sangat bahagia, sebab mulai saat itu aku bisa melepaskan rutinitas yang sangat melelahkan di Bank, terlebih dosen memang menjadi cita-citaku sejak kuliah dulu.

Dulu aku merencanakan setelah aku meraih gelar Magister Hukum aku kembali ke Banjarmasin dan menjadi Dosen di Fakultas Hukum Unlam. Ternyata Allah berkehendak lain, aku menjadi dosen dengan ijazah sarjana hukumku dalam waktu yang relatif cepat, kendati ia belum memperkenankanku untuk S2. Inilah bukti ayat sucinya yang berbuyi : “Inna ma’al Usri Yusra” (didalam kesulitas selalu ada kemudahan). Subhanallaah.

Setelah lulus pada bulan Maret 2006, akupun sempat menunggu beberapa bulan untuk aktif bekerja di Fakultas Hukum Unlam, karena SK CPNS ku belum keluar. Sekitar minggu ketiga Juli 2006 SK tersebut kuterima dan mulai saat itu aku membuat permohonan pengunduran diri di Bank BPD Kalsel. Para atasanku tersontak, lantaran banyak dari mereka tak mengetahui kalau aku ingin berpindah tempat kerja dan berhenti dari Bank tersebut, bahkan pimpinan divisi SDM (human resourch) seakan memberikan gambaran karir yang cemerlang untukku sebagai upaya merayu agar aku tak jadi keluar dari Bank itu. Tapi akupun dengan segala keteguhan hati tetap memilih Fakultas Hukum Unlam sebagai titian karirku. Cita-citaku untuk menjadi guru besar bidang hukum tatanegara dan kemudian hari duduk dalam salah satu jabatan negara, hanya dapat kutemuh melalui jenjang karir di perguruan tinggi, bukan di dunia perbankan.

Akhirnya pada tanggal 1 Agustus 2006 akupun mulai bekerja di Fakultas Hukum Unlam sekaligus keluar dari bank BPD Kalsel, dengan demikian genap 1 tahun aku bekerja di bank tersebut. Bagaimanapun Bank itu telah menyelamatkanku dari 400.000 sarjana pengangguran di republik ini pada tahun 2005. Bahkan diantara rekan-rekanku seangkatan, aku tergolong orang yang cepat mendapat pekerjaan.

Begitu aktif menjadi dosen di Fakultas Hukum Unlam, aku seakan tak sabar untuk melanjutkan studiku ke jenjang S2. Sayang, di Universitas tempatku mengajar terdapat aturan, bahwa seorang dosen yang berstatus Calon Pegawai Negeri Sipil (CPNS) baru dapat menempuh studi setelah statusnya menjadi Pegawai Negeri Sipil (CPNS) dan memegang jabatan fungsional sebagai dosen. Prosedur itu biasanya ditempuh dalam waktu minimal 1 tahun.

Sambil menunggu waktu 1 tahun itupun, aku menjajaki berbgai kemungkinan S2. Ada S2 yang dibiayai oleh Direjn Dikti didalam negeri, Ada juga S2 yang dibiayai melalui proyek A2 yang didapat oleh fakultas Hukum, Namun keduanya dalam realisasinya mengedepankan senioritas, sedangkan seniorku yang masih belum S2 tak kurang dari 5 orang, sehingga jika menggunakan pola ini, tentu aku tak dapat S2 dalam waktu dekat. Dalam pencarian S2 tersebut, Rektor Unlam Prof. Rasmadi menawarkanku untuk melanjutkan studi ke Malaysia, ia merekomendasikan untuk melanjutkan ke Universiti Utara Malaysia (UUM) Kedah. Akupun senang sebab aku akan segera S2 dan hal itu ditawarkan langsung oleh sang rektor, pimpinan tertinggi di Unlam.

Tawaran rektor itupun langsung kusampaikan kepada Dekan fakultas Hukum sebagai atasan langsungku, beliaupun menyambut dengan suka cita. Akupun segera mengakses situs UUM untuk mengetahui program yang mereka tawarkan. setalah kupelajari dengan seksama, ternyata tak ada program Masters di bidang hukum yang ditawarkan. Akupun menyampaikan kepada rektor, sembari memberikan alternative untuk mlanjutkan S2 di Universiti lain di Malaysia, kendati bukan UUM. Rektor pun tak terlalu mempermasalahkan waktu itu.

Akupun mencari referensi untuk studi ke Malaysia, yang kutahu banyak dosen-dosen IAIN Antasari yang menempuh studi di negeri itu. Muhaimin adalah orang yang kutemui, beliau alumni Universiti Kebangsaan Malaysia. Oleh Muhaimin aku dibantu untuk mendaftar di Universitas tersebut. Selang tiga bulan kemudian akupun menerima surat tawaran dari Universitas tersebut untuk kuliah pada bulan Juli 2007. Akupun memberitahukan tawaran tersebut kepada Rektor dan Dekan. Keduanya menyambut baik, namun menyarankanku untuk mulai kuliah pada bulan Desember. Karena pada bulan Juli tersebut jabatan fungsionalku sebagai dosen belum keluar. Akupun mengamini kehendak mereka dan segera mengirim surat penundaan studi ke UKM.

Sambil menunggu surat dari UKM aku melakukan pendekatan kembali kepada Rektor untuk memastikan bantuan dana studiku. Aku terkejut, pada saat menghadap Rektor langsung mengatakan UNLAM tak punya dana untuk studiku, padahal aku ingat betul ia yang menyuruhku untuk kuliah ke Malaysia dan ia pula yang meminta bantuanku untuk melakukan lobi ke rekan-rekanku di DPRD KalSel agar UNLAM mendapatkan dana bantuan untuk studi para dosen ke luar negeri sebesar Rp. 500 juta dari dana ABT. Permohonan UNLAM tersebutpun disetujui, hal itu kudapatkan dari telepon rekanku bernama Ibnu Sina Ketua Komisi I DPRD KalSel.

Sikap Rektor tersebut kutanggapi secara dewasa dan tak menyulutkanku untuk melanjutkan S2 ke Malaysia, kendati kala itu ku tak tau harus mendanai studiku darimana, terlebih pada bulan Oktober aku harus membiayai seorang wanita yang akan kunikahi. Itu artinya jika aku memulai studi di Bulan Desember maka aku bukan hanya membiayai studi dan biaya hidupku, namun juga untuk isteriku.  Keadaan demikian membuatku berfikir untuk mendapatkan berbagai sumber untuk membiayai studiku. Akupun mulai memberitahukan masalahku ini ke rekan-rekanku. Mereka dengan tangan terbuka bersedia membantuku, mulai dari yang mau menguruskan dana bantuan ke gubernur sampai dengan memberi dana tunai. Sebelum berangkat aku menerima bantuan dana Rp.18 juta dari bantuan gubernur dan dari rekan-rekanku tadi. Jumlah tersebut memang belum dapat mencover dana studiku yang kuhitung-hitung tak kurang dari Rp.50 juta, tapi aku percaya “ Inna ma’al usri yusra”.