Setelah lulus dari FH UII pada Maret 2005, akupun langsung mendaftarkan diri di Magister Hukum UGM. Aku mendaftar dengan uang tabunganku sebesar Rp.250.000, sebuah jumlah yang tidak kecil menurut ukuranku kala itu. Aku berani mendaftar, sebab sejak satu tahun sebelum kelulusanku, Orang tuaku, utamanya abahku memberikan harapan akan membiayai studiku hingga ke S2. Apalagi prestasi akademikku sangat bagus dan kucapai dalam waktu singkat, tak ada alasan untuk tidak S2 pikirku.
Namun, ada hal yang tak kuketahui, ternyata orang tuaku tak memiliki uang yang cukup untuk studiku. Hal ini dikarenakan abahku sedang mengikuti proses Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) di Kabupaten Hulu Sungai Tengah. Pilkada itu dibiayai oleh keuangan orang tuaku sendiri, sebab abahku dan partai yang mencalonkannya (PKS) tak mau menerima donasi dari pihak tertentu yang hampir seluruhnya mengikat. Dalam benak abahku, bentuk donasi demikian, jika ia terpilih akan membuat kepemimpinannya tak independent. Bagaimanpun prinsipnya harus aku hormati dan aku harus bersikap dewasa untuk mendukungnya, kendati S2 ku tertunda sampai dengan waktu yang tak pasti, terlebih dalam pemilihan itu abahku kalah.
Untungnya, aku mendapat tawaran kerja di Bank BPD Kalsel. Info tawaran tersebut kudapat dari uwaku yang menjadi dewan pengawas syariah disana. Awalnya aku melamar sebagai tenaga lepas yang mengurusi Qard Al-Hasan (pinjaman tanpa bunga yang diberikan kepada muzakky dari uang zakat karyawan BPD kalsel), namun setelah dua bulan menunggu, ternyata ku dipanggil untuk menjadi karyawan tetap. Konon, keputusan tersebut dibuat oleh pihak manajemen, karena melihat nilai kelulusan dan biodataku. Akupun menjalani tes dan langsung diterima bersama dua orang lainnya yang berasal dari Bank Syariah Mandiri. Padahal dari tujuh yang mengikuti tes, lima diantarnya telah bekerja dan memiliki pengalaman di perbankan. Aku diterima konon karena IPK-ku pada saat kuliah diatas rata-rata, selain hasil tes Bahasa Inggrisku yang juga lumayan.
Tanggal 1 Agustus 2005 aku mulai bekerja di Bank BPD kalsel dan ditempatkan di Unit Usaha Syariah. Tugas utamaku sesungguhnya adalah sebagai seorang peneliti dan konseptor untuk mengembangkan unit syariah Bank tersebut yang baru 1 tahun didirikan, Namun karena atasanku seorang yang tak dapat bekerja secara team work, maka aku banyak mengerjakan hal-hal yang bersifat administratif belaka. Atasanku tersebut bernama Afghani Yusuf Said, seorang banker senior, cerdas, namun improfet dengan ide dan gagasan diluar dirinya. Apa yang ia pikirkan dianggapnya yang terbaik. Jika dilakukan survey, hampir seluruh karyawan di kantor tersebut tak menyukai karakter beliau.
Suasana kerja dengan atasan yang tak terbuka demikian dan bekerja dengan waktu yang terikat dari pukul 07.45-17.00 WITA bahkan sering kali pulang diatas jam 19.00. Diakhir bulan seluruh karyawan biasa pulang sampai jam 12.00 malam. Hal tersebut membuatku mulai merasa bosan bekerja di kantor tersebut, satu-satunya yang membuatku senang bekerja disana adalah pada saat mendapatkan bonus kerja. Sesekali ku mendapatkan Rp.5 juta, beberapa bulan kemudian mendapatkan Rp.2-3juta, sebuah jumlah yang sangat besar bagiku kala itu, disamping gajiku sebesar Rp.1,4 juta/bulan.
Suasana kerja demikian membuatku selalu mencari celah untuk keluar dari Bank tersebut. Akupun mulai mengakses beberapa foundation yang memberikan beasiswa untuk S2 ke luar negeri, selain mencari info pekerjaan lain. Pencarian itupun membuahkan banyak informasi, termasuk informasi penerimaan CPNS untuk menjadi Dosen di Fakultas Hukum Universitas Lambung Mangkurat. Dengan semangat, akupun turut mendaftar tes tersebut pada bulan Februari 2006. Terdapat 55 orang sarjana hukum yang mengikuti tes tersebut untuk memperebutkan 6 posisi dosen. Pada bulan Maret hasil tersebut diumumkan dan akupun dinyatakan lulus. Aku sangat bahagia, sebab mulai saat itu aku bisa melepaskan rutinitas yang sangat melelahkan di Bank, terlebih dosen memang menjadi cita-citaku sejak kuliah dulu.
Dulu aku merencanakan setelah aku meraih gelar Magister Hukum aku kembali ke Banjarmasin dan menjadi Dosen di Fakultas Hukum Unlam. Ternyata Allah berkehendak lain, aku menjadi dosen dengan ijazah sarjana hukumku dalam waktu yang relatif cepat, kendati ia belum memperkenankanku untuk S2. Inilah bukti ayat sucinya yang berbuyi : “Inna ma’al Usri Yusra” (didalam kesulitas selalu ada kemudahan). Subhanallaah.
Setelah lulus pada bulan Maret 2006, akupun sempat menunggu beberapa bulan untuk aktif bekerja di Fakultas Hukum Unlam, karena SK CPNS ku belum keluar. Sekitar minggu ketiga Juli 2006 SK tersebut kuterima dan mulai saat itu aku membuat permohonan pengunduran diri di Bank BPD Kalsel. Para atasanku tersontak, lantaran banyak dari mereka tak mengetahui kalau aku ingin berpindah tempat kerja dan berhenti dari Bank tersebut, bahkan pimpinan divisi SDM (human resourch) seakan memberikan gambaran karir yang cemerlang untukku sebagai upaya merayu agar aku tak jadi keluar dari Bank itu. Tapi akupun dengan segala keteguhan hati tetap memilih Fakultas Hukum Unlam sebagai titian karirku. Cita-citaku untuk menjadi guru besar bidang hukum tatanegara dan kemudian hari duduk dalam salah satu jabatan negara, hanya dapat kutemuh melalui jenjang karir di perguruan tinggi, bukan di dunia perbankan.
Akhirnya pada tanggal 1 Agustus 2006 akupun mulai bekerja di Fakultas Hukum Unlam sekaligus keluar dari bank BPD Kalsel, dengan demikian genap 1 tahun aku bekerja di bank tersebut. Bagaimanapun Bank itu telah menyelamatkanku dari 400.000 sarjana pengangguran di republik ini pada tahun 2005. Bahkan diantara rekan-rekanku seangkatan, aku tergolong orang yang cepat mendapat pekerjaan.
Begitu aktif menjadi dosen di Fakultas Hukum Unlam, aku seakan tak sabar untuk melanjutkan studiku ke jenjang S2. Sayang, di Universitas tempatku mengajar terdapat aturan, bahwa seorang dosen yang berstatus Calon Pegawai Negeri Sipil (CPNS) baru dapat menempuh studi setelah statusnya menjadi Pegawai Negeri Sipil (CPNS) dan memegang jabatan fungsional sebagai dosen. Prosedur itu biasanya ditempuh dalam waktu minimal 1 tahun.
Sambil menunggu waktu 1 tahun itupun, aku menjajaki berbgai kemungkinan S2. Ada S2 yang dibiayai oleh Direjn Dikti didalam negeri, Ada juga S2 yang dibiayai melalui proyek A2 yang didapat oleh fakultas Hukum, Namun keduanya dalam realisasinya mengedepankan senioritas, sedangkan seniorku yang masih belum S2 tak kurang dari 5 orang, sehingga jika menggunakan pola ini, tentu aku tak dapat S2 dalam waktu dekat. Dalam pencarian S2 tersebut, Rektor Unlam Prof. Rasmadi menawarkanku untuk melanjutkan studi ke Malaysia, ia merekomendasikan untuk melanjutkan ke Universiti Utara Malaysia (UUM) Kedah. Akupun senang sebab aku akan segera S2 dan hal itu ditawarkan langsung oleh sang rektor, pimpinan tertinggi di Unlam.
Tawaran rektor itupun langsung kusampaikan kepada Dekan fakultas Hukum sebagai atasan langsungku, beliaupun menyambut dengan suka cita. Akupun segera mengakses situs UUM untuk mengetahui program yang mereka tawarkan. setalah kupelajari dengan seksama, ternyata tak ada program Masters di bidang hukum yang ditawarkan. Akupun menyampaikan kepada rektor, sembari memberikan alternative untuk mlanjutkan S2 di Universiti lain di Malaysia, kendati bukan UUM. Rektor pun tak terlalu mempermasalahkan waktu itu.
Akupun mencari referensi untuk studi ke Malaysia, yang kutahu banyak dosen-dosen IAIN Antasari yang menempuh studi di negeri itu. Muhaimin adalah orang yang kutemui, beliau alumni Universiti Kebangsaan Malaysia. Oleh Muhaimin aku dibantu untuk mendaftar di Universitas tersebut. Selang tiga bulan kemudian akupun menerima surat tawaran dari Universitas tersebut untuk kuliah pada bulan Juli 2007. Akupun memberitahukan tawaran tersebut kepada Rektor dan Dekan. Keduanya menyambut baik, namun menyarankanku untuk mulai kuliah pada bulan Desember. Karena pada bulan Juli tersebut jabatan fungsionalku sebagai dosen belum keluar. Akupun mengamini kehendak mereka dan segera mengirim surat penundaan studi ke UKM.
Sambil menunggu surat dari UKM aku melakukan pendekatan kembali kepada Rektor untuk memastikan bantuan dana studiku. Aku terkejut, pada saat menghadap Rektor langsung mengatakan UNLAM tak punya dana untuk studiku, padahal aku ingat betul ia yang menyuruhku untuk kuliah ke Malaysia dan ia pula yang meminta bantuanku untuk melakukan lobi ke rekan-rekanku di DPRD KalSel agar UNLAM mendapatkan dana bantuan untuk studi para dosen ke luar negeri sebesar Rp. 500 juta dari dana ABT. Permohonan UNLAM tersebutpun disetujui, hal itu kudapatkan dari telepon rekanku bernama Ibnu Sina Ketua Komisi I DPRD KalSel.
Sikap Rektor tersebut kutanggapi secara dewasa dan tak menyulutkanku untuk melanjutkan S2 ke Malaysia, kendati kala itu ku tak tau harus mendanai studiku darimana, terlebih pada bulan Oktober aku harus membiayai seorang wanita yang akan kunikahi. Itu artinya jika aku memulai studi di Bulan Desember maka aku bukan hanya membiayai studi dan biaya hidupku, namun juga untuk isteriku. Keadaan demikian membuatku berfikir untuk mendapatkan berbagai sumber untuk membiayai studiku. Akupun mulai memberitahukan masalahku ini ke rekan-rekanku. Mereka dengan tangan terbuka bersedia membantuku, mulai dari yang mau menguruskan dana bantuan ke gubernur sampai dengan memberi dana tunai. Sebelum berangkat aku menerima bantuan dana Rp.18 juta dari bantuan gubernur dan dari rekan-rekanku tadi. Jumlah tersebut memang belum dapat mencover dana studiku yang kuhitung-hitung tak kurang dari Rp.50 juta, tapi aku percaya “ Inna ma’al usri yusra”.