Judicial Review : Jalan Baru (harapan) Perubahan

Posted: Januari 25, 2013 in tulisanku di media

Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 5/PUU-X/2012 yang dalam amarnya membatalkan status Rintisan Sekolah Berstandar Internasional (RSBI), sangat menarik perhatian publik. Hampir semua media massa memberitakannya, tak sedikit menempatkannya sebagai berita utama di halaman-halaman muka media terkenal. Ketentuan mengenai RSBI dalam UU Sistem Pendidikan Nasional dianggap bertentangan dengan prinsip-prinsip Konstitusi, khususnya hak asasi manusia untuk mendapatkan pendidikan yang layak, tanpa tergantung oleh biaya yang melangit.

                Beberapa bulan yang lalu, MK juga membuat publik menaruh apresiasi. Melalui Putusannya Nomor 36/PUU-X/2012. Dalam Putusannya itu, MK membatalkan asal 1 angka 23, Pasal 4 ayat (3), Pasal 41 ayat (2), Pasal 44, Pasal 45, Pasal 48 (1), Pasal 59 huruf a, Pasal 61, Pasal 63 UU Migas. Pembatalan sejumlah Pasal itu berimplikasi pada Inkonstitusional-nya kedudukan dan wewenangan Badan Pengelola Hulu Migas (BP Migas). BP Migas-pun mesti dibubarkan.

                Dua contoh putusan MK diatas adalah gambaran betapa di satu pihak lembaga Mahkamah Konstitusi memiliki peran strategis dalam ranah legisasi kita, khususnya melakukan review atas berbagai UU yang dianggap bertentangan dengan UUD 1945. Di pihak lain, publik, baik perseorangan maupun kelompok yang merasa dirugikan atas pemberlakuan suatu norma UU dapat memohon review ke Mahkamah. Permohonan itu didasarkan bahwa UU yang diaggap merugiikan itu bertentangan dengan ketentuan Konstitusi kita (UUD 1945). Di tengah rendahnya kepercayaan publik atas kinerja lembaga legislatif (DPR) dan ekesekutif, termasuk dalam pembuatan UU, Judicial review menjadi harapan baru bagi hadirnya perubahan dan keadilan.

Marbury vs Madison

                Sejarah judicial review atau constitusional review atau yang dalam bahasa Indonsia dikenal dengan pengujian undang-undang dimulai pada tahun 1803. Kala itu, Mahkamah Agung Amerika Serikat yang diketuai oeh Hakim John Marshall menangani suatu kasus antara William Marbury melawan James Madison. Marbury adalah Hakim Agung yang telah ditunjuk oleh Presiden AS John Adam, sehari sebelum masa jabatannya habis. Setelah Presiden As berganti kepada Thommas Jeferson dengan Sekretaris Negara James Madison, Madison mengeluarkan kebijakan untuk tidak menyerahkan surat pengangkatan Hakim Agung kepada Marbury yang dikenal dengan “writ mandamus” kepada Kongres AS kala itu.

                Karena tak dikeluarkan, Marbury mengajukan permohonan kepada Mahkamah Agung AS agar memerintahkan Pemerintah di bawah John Adam untuk menerbitkan “writ mandamus” sebagaimana diatur dalam UU Kehakiman AS (Judiciary Act) Tahun 1789. Mahkamah Agung yang dipimpin John Marshall menyatakan MA tak berwenang memerintahkan hal tersebut kepada Pemerintah AS, Tapi di pihak lain MA malah menyatakan ketentuan dalam UU tersebut bertentangan dengan Pasal 3 Bab II (Article III, Section 2) Konstitusi AS. Prinsip kemandirian lembaga peradilan dalam Konstitusi AS tercederai dengan adanya ketentuan wewenang untuk menerbitkan “writ mandamus” oleh eksekutif.  Karena dasar hukumnya dibatalkan, maka “writ amandus” tak perlu lagi dipaksa untuk diserahkan oleh Pemerintah kepada Kongres. Putusan Hakim Marshall itulah yang melahirkan tonggal baru judicial review dalam dunia hukum di kemudian hari.

                Di Indonesiai, sistem dan mekanisme Judicial review hadir seiring lahirnya Mahkamah Konstitusi pada bulan Agustus 2003. Pengujian konstitusional itu dimaksudkan untuk memastikan bahwa UUD sungguh-sungguh dijalankan atau ditegakan dalam proses penyelenggaraan negara sehari-hari. Pengujian terhadap lembaga lain oleh lembaga yang berbeda apakah yang bersangkutan sungguh-sungguh melaksanakan UUD atau tidak merupakan mekanisme yang sama sekali baru. Sebelumnya memang tidak dikenal dalam sistem hukum dan konstitusi negara kita.

                Percobaan pertama yang kita adakan dapat dikatakan barulah muncul setelah era reformasi, yaitu dengan ditetapkannya Ketetapan MPR-RI No. III/MPR/2000 yang memberikan kepada MPR kewenangan aktif untuk menguji konstitusionalitas undang-undang. Sebelum ini, prosedur pengujian (judicial review) oleh Mahkamah Agung hanya dibatasi pada objek peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang terhadap Undang-Undang. Dengan demikian, pengujian olehMahkamah Agung itu bukanlah pengujian mengenai konstitusionalitas, melainkan hanya pengujian mengenai legalitas peraturan perundang-undangan. Kewenangan MA ini masih bertahan sampai dengan sekarang.

Harapan & Cara Berjuang Baru

                Secara filosofis, judicial review dihadirkan untuk memastikan adanya saling kontrol saling imbang (checks and balances) antar lembaga negara. Produk legislatif dan eksekutif berupa UU masih dapat diuji konstitusionalitasnya oleh suatu lembaga Peradilan. Di pihak lain, sebagai negara yang menganut asas kedaulatan rakyat di dalam Konstitusi, rakyat mesti diberikan ruang untuk mempertahankan hak-hak nya, sekaligus membangun kontrol atas kinerja pemerintahan, termasuk kinerja dalam bidang pembuatan perundang-undangan atau legislasi.

                Cara ini ternyata cukup ampuh dan mengundang apresiasi publik. Setidaknya ratusan permohonan pengujian UU dilayangkan ke MK setiap tahunnya. Lebih dari 20% dari pengujian itu dikabulkan. Maknanya, masih cukup banyak produk legislasi DPR dan Pemerintah yang bermasalah dari sisi substansi. Di pihak lain, publik nampak semakin kritis untuk melihat substansi peraturan perundang-undangan yang dibuat oleh DPR bersama-sama Presiden.

                Jika dalam beberapa periode pemerintahan sebelumnya, pola advokasi publik banyak diwarnai dengan teriakan dan kritik dalam berbagai forum ilmiah sampai dengan demontrasi di jalanan, maka sekarang ada cara baru untuk berjuang di dalam ruang sidang MK. Cara baru ini, relatif tak menguras energi, termasuk tak membutuhkan konsolidasi massa layaknya aksi demontrasi yang mensyaratkan itu. Signifikasi yang dihasilkannya-pun cukup besar. Satu orang atau satu kelompok masyarakat yang mengajukan permohonan pengujian UU ke MK saja, Jika dikabulkan dapat membatalkan isi norma UU dimaksud. Artinya, tak perlu banyak orang untuk membuat perubahan yang signifikan.

                Bagi masyarakat di daerah yang selama ini termarginalkan di tengah hiruk pikuk Republik yang masih didomonir oleh “Jakarta”, Judicial review amat patut untuk dijadikan alternatif perjuangan. Beberapa waktu lalu misalnya, MK mengabulkan permohonan Bupati Kutai Timur Isran Noor yang merasa terzalimi hak dan kewenangannya selaku Kepala Daerah otonom dengan adanya aturan penetapan Wilayah Izin Usaha Pertambangan (WIUP) oleh Pemerintah Pusat. Cara ini menurut Isran adalah wujud pengekangan dan intervensi prinsip otonomi daerah yang diatur dalam Konstitusi. Dalam Putusannya Nomor 10/PUU-X/2012 yang diputuskan tanggal 22 November 2012 lalu, MK mengabulkan permohonan Isran agar penetapan WIUP diserahkan kepada daerah dengan berkonsultasi dengan DPR. Dikabulkannya permohonan Isran tentu tak hanya berimplikasi pada Kutai Timur semata dalam penetapan WIUP, melainkan juga berlaku pada seluruh wilayah di Indonesia.

                Saat ini, Bupati Tanah Bumbu, Mardani H Maming juga sedang mengajukan Judicial review ke MK terkait ketentuan Pasal 10 ayat (3) dan (4) UU No.30 Tahun 2009 Tentang Ketenagalistrikan. Pasal itu menyatakan bahwa di satu wilayah usaha ketenagalistrikan hanya boleh ada satu badan usaha penyedia ketenagalistrikan. Sebagaimana dimaklumi, krisis listrik terjadi bertahun-tahun di Kalsel, termasuk Tanbu yang menjadi lumbung energi batubara. Keinginan Pemda, termasuk swasta di daerah untuk turut serta menjadi penyedia usaha ketenagalistrikan terhalang oleh aturan dalam Pasal 10 UU Ketenagalistrikan diatas.

                Jika-pun mau, maka Pemda atau badan usaha swasta di daerah mesti bekerjasama dengan PLN yang mematok izin, harga dan prosedur yang cukup rumit, panjang dan memberatkan. Akibatnya, ikhtiar untuk menyelesaikan krisis listrik di daerah sendiri terhalang secara regulasi. Jika kelak Judicial Review Mardani ini dikabulkan, maka daerah akan memiliki ruang yang cukup untuk turut serta menjadi penyedia ketenagalistrikan di daerahnya. Di pihak lain, daerah juga memiliki keleluasaan untuk menentukan tarif listrik di daerahnya. Daerah dengan limpahan energi seperti di Banua, mestinya tariff listriknya lebih rendah dibanding daerah lain, karena biaya operasional-nya dapat ditekan.

                Kalau berteriak dengan demontrasi tak cukup didengar dan menghantarkan perubahan, Judicial review boleh dicoba sebagai jalan baru mendapatkan keadilan. Wallahu’alam.

Tinggalkan komentar